Keluarga

Membahagiakan Orang Tua


3 hari yang lalu


membahagiakan-orang-tua

Alkisah dua orang sahabat, sebut saja Adin dan Udin, keduanya terpatri dalam suatu ikatan perjuangan di masa muda, lalu ikatannya dilanjutkan dengan mendirikan sebuah perserikatan. Masalah mulai timbul ketika anak lelaki Adin yang telah dewasa, dimasukkanlah dalam perserikatan tersebut.

Qadarullah, Udin secara ekonomi dan gaya hidup tidak seperti Adin. Udin masih dengan gaya dan performa lamanya, ekonominya sederhana dan tetap menekuni dunia lembaga swadaya kemasyarakatan. Ia membina dan aktif memberdayakan beragam lembaga swadaya masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Sementara Adin gaya hidupnya lebih mapan, berdomisili di kawasan kelas menengah, dan kendaraannya selalu berkilat.

Anak Adin yang telah di“kader” terlibat secara penuh dalam perserikatan tersebut. Ia memiliki karakter dan gaya yang berbeda, bahkan beberapa pandangan bertolak belakang dengan ayahnya. Ucapannya lugas, kalimatnya dengan nada datar terkesan menyerang sehingga tampak arogan. Berkali-kali menarasikan perserikatan ini adalah jasa besar ayahnya sehingga pandangan merendahkan terhadap orang lain tampak jelas, para pimpinan level pertama hingga karyawan paling bawah sekalipun sering menyaksikannya.

Iklim organsiasi semakin tidak kondusif, komunikasi Adin terhadap bawahannya mengalami kesenjangan, konflik kepentingan antara teman karibnya dan anak kebanggaannya tumbuh merebak. Sehingga nama baik Adin di kalangan anggota tim yang lain menjadi buruk, benih-benih kebencian terus meluas dari sebagian terhadap sebagian yang lain.

Memang tidak mudah mewarisi nama baik orang tua dan meneruskan amalan baiknya, bahkan sebagian menganggapnya sebagai siksaan hidup yang berat. Apalagi menjaga hubungan baik dengan sahabat karib orang tua jika berada dalam satu organisasi tetapi beda pandangan. 

Menjaga silaturahmi dengan kawan karib orang tua adalah salah satu bentuk bakti terhadap orang tua, apalagi beliau sudah tiada. Perbedaan kepentingan atau pandangan jika berada dalam satu organisasi sering menjadi pangkal masalah yang implikasinya bisa sangat luas dan menghalangi meraih kemuliaan amal saleh ini.

Perbedaan umur, pengalaman hidup dan karakter yang telah tertaut selama bertahun-tahun sepanjang akrabnya persahabatan juga mejadi sebab lebarnya kesenjangan pemahaman antara ananda dan sahabat orang tua.

Apalagi sang bapak memiliki ambisi, yang dengan itu anaknya dititipi beban untuk mewujudkan ambisi tersebut.  Beban ganda ada di pundak sang anak, antara mewujudkan impian sang bapak dan menjaga hubungan baik dengan teman dekat sang ayah.

Dalam keadaan berkonflik antara kedua beban tersebut, anak secara naluri akan cenderung pada bapaknya. Melakukan pembelaan atau memilih keputusan untuk melanjutkan usaha mewujudkan pikiran dan keinginan bapaknya, dan pada saat yang sama mengabaikan kawan dekat ayahnya.

Sehingga perbuatan yang dilakukan berpotensi menciptakan keretakan hubungan bahkan memicu perselisihan antara orang tuanya dan sahabat orang tua. Kondisi seperti inilah yang menjadikan pusaran konflik menjadi seperti benang kusut atau dalam peribahasa ”seperti makan buah simalakama”.

Tidak akan memperoleh apa pun di dunia, apalagi kelak di akhirat, bila tidak kembali kepada Allah (fafirruu ilallah). Ambisi, bahkan eksistensi diri, harus bersedia kita lebur dalam satu kesadaran penghambaan diri kepada Allah secara total. Ya Allah, tsabbit quluubana ‘ala tho’atik.